MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING (BERMAIN
PERAN)
Disusun oleh:
1. Shafira Dwintha Aulia (1401412028)
2. Vip Valiant Abdurahman Alim (1401412374)
3. Septi Risnawati (1401412498)
4. Arifati Isnaeni (1401412512)
PENDIDIKAN GURU
SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014
A. Pengertian Model Pembelajaran Role Playing
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang
tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru, dengan
kata lain, model pembelajaran
merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, model, dan
teknik pembelajaran. Salah satu model
pembelajaran
yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPS adalah model role
playing
(bermain peran). Role playing
adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang
dipakai untuk menjelaskan peranan, sikap, tingkah laku, nilai, dengan
tujuan menghayati perasaan, sudut pandang dan cara berpikir orang lain (Husein
Achmad, 1981: 80).
Bermain peran adalah berakting sesuai dengan
peran yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu
seperti menghidupkan kembali suasana historis, misalnya mengungkapkan kembali
perjuangan para pahlawan kemerdekaan, atau mengungkapkan kemungkinan keadaan
yang akan datang, misalnya saja keadaan yang kemungkinan dihadapi karena
semakin besarnya jumlah penduduk, atau menggambarkan keadaan imajiner yang dapat
terjadi dimana dan kapan saja.
Menurut Hamalik (2004: 214), model role playing (bermain peran) adalah model pembelajaran dengan cara memberikan peran-peran tertentu kepada peserta didik dan
mendramatisasikan peran tersebut ke dalam sebuah pentas. Role playing adalah salah satu model pembelajaran interaksi
sosial yang menyediakan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar
secara aktif dengan personalisasi. Hamalik (2004: 214) lebih lanjut mengemukakan bahwa bentuk pengajaran role playing memberikan
pada siswa seperangkat/serangkaian situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang
dirancang oleh guru. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai
suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah
berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain saat menggunakan bahasa
tutur (Syamsu, 2000).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa model role playing adalah model bermain peran dengan cara memberikan
peran-peran tertentu atau serangkaian situasi belajar kepada siswa dalam bentuk keterlibatan pengalaman
sesungguhnya yang dirancang oleh guru dan didramatisasikan peran tersebut ke dalam sebuah pentas.
Dengan model bermain peran, diharapkan siswa dapat menghayati dan berperan
dalam berbagai figur khayalan atau figur sesungguhnya dalam berbagai situasi.
Model bermain peran yang direncanakan dengan baik dapat menanamkan kemampuan
bertanggung jawab dalam bekerja sama dengan orang lain, menghargai pendapat
dan kemampuan orang lain serta belajar
mengambil keputusan dalam hubungan kerja kelompok. Model ini dapat diterapkan pada pengajaran
IPS dengan pokok bahasan tentang hubungan kehidupan sosial, misalnya peranan
tokoh-tokoh dalam kehidupan bermasyarakat.
Model pembelajaran ini dapat melibatkan
aspek-aspek kognitif, afektif maupun psikomotor para siswa. Aspek kognitif
meliputi pemecahan masalah, aspek afektif meliputi sikap, nilai-nilai
pribadi/orang lain, membandingkan, mempertentangkan nilai-nilai, dan mengembangkan
empati atas dasar tokoh yang mereka perankan, sedangkan aspek psikomotor
terlihat ketika siswa memainkan peran di depan kelas.
Titik penekanan model pembelajaran role playing terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indra ke dalam suatu
situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Siswa diperlakukan sebagai
subjek pembelajaran, secara
aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama
teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan
yang berpusat pada diri siswa (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Jadi, dalam pembelajaran siswa harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak
mungkin terjadi. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan atau menampilkan skenario yang telah
disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprovisasi, namun masih dalam
batas-batas
skenario dari guru.
B. Tujuan dan Manfaat Model Pembelajaran Role
Playing
Sebagai salah satu bentuk model
pembelajaran dalam IPS, bermain peran memiliki beberapa tujuan dan manfaat
seperti misalnya yang dikemukakan oleh Fannie R. Shaftel dan George Shaftel
(1967) bahwa model bermain peran mempunyai berbagai fungsi, namun dua fungsi
utamanya adalah "education for citizen" dan "group
counseling" yang dilakukan oleh guru di kelas. Untuk menggunakan model
ini secara efektif dalam pengajaran IPS harus disadari dengan baik tujuan
digunakannya bermain peran.
Tujuan yang hendak dicapai dari kegiatan
bermain peran sesuai dengan jenis belajar yang dilaksanakan yaitu:
1. Belajar dengan berbuat, tujuannya yaitu untuk mengembangkan
keterampilan-keterampilan yang interaktif atau keterampilan-keterampilan yang
reaktif.
2. Belajar melalui peniruan, tujuannya adalah menyamakan tingkah laku sesuai
dengan karakter tokoh yang dimainkannya.
3. Belajar melalui balikan, mempunyai tujuan untuk mengembangkan
prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan
yang telah didramatisasikan.
4. Belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan dengan tujuan untuk
memperbaiki keterampilan-keterampilan dengan mengulanginya pada penampilan
berikutnya (Hamalik, 2008).
Menurut Dharma (2008) model role playing memiliki beberapa tujuan,
diantaranya melatih keterampilan tertentu baik yang bersifat profesional maupun
bagi kehidupan sehari-hari, memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau
prinsip, melatih memecahkan masalah, meningkatkan keaktifan belajar, memberikan
motivasi belajar pada siswa, melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam
situasi kelompok, menumbuhkan daya kreatifitas siswa, dan melatih siswa untuk
mengembangkan sikap toleransi.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang tujuan model
role playing tersebut, dapat disimpulkan bahwa model bermain peran bertujuan
untuk (1) mengembangkan keterampilan-keterampilan yang interaktif maupun
reaktif, (2) mengembangkan sikap/perasaan bersosialisasi dengan orang lain, (3)
memperdalam pemahaman materi pelajaran, dan (4) mengembangkan konsep nilai,
berpikir, dan bertindak tepat.
1. Role playing dapat memberikan semacam hidden practise, dimana siswa tanpa sadar
menggunakan ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah baku dan normatif terhadap
materi yang telah dan sedang mereka pelajari
2. Role playing melibatkan jumlah siswa
yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar.
3. Role playing dapat memberikan kepada siswa kesenangan, karena role playing pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain, siswa akan merasa senang
karena bermain adalah dunia siswa.
C. Langkah-langkah Model Pembelajaran Role Playing
Menurut Shaftel
& Shaftel (Joyce & Weil, 1996: 62 dalam
Setiawati, 2008), tahapan-tahapan
role playing terdiri dari
sembilan fase dan aktivitas sebagai berikut:
1.
Fase satu, memotivasi kelompok. Fase ini mencakup memperkenalkan masalah
kepada siswa sehingga mengetahui materi yang akan dipelajari, selanjutnya
diungkapakan masalah-masalah secara jelas. Bagian terakhir dari fase ini adalah mengajukan
pertanyaan yang akan membuat siswa berpikir dan memprediksikan cerita yang akan
ditampilkan.
2.
Fase dua, memilih
pemeran. Guru dan siswa menggambarkan karakter-karakter peran, mengenai seperti
apa karakter peran-peran tersebut dan bagaimana peran dibawakan. Hendaknya guru
bertanya kepada siswa, apakah siswa itu akan berpartisipasi dalam peran, kemudian
siswa tersebut memilih peran yang mana. Apabila guru yang menentukan, hendaknya
diperhitungkan kecenderungan kesukaan siswa terhadap peran yang ada.
3.
Fase tiga, menyiapkan
tahap-tahap peran. Para pemain menggambarkan garis besar skenario. Gambaran
sederhana setting (pengaturan) dan aksi
pemeranan salah satu pemeran. Guru dapat membantu tahap-tahap peran dengan
mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan peran tersebut. Hal itu penting agar
siswa merasa aman dalam melaksanakan role playing dan memulai
aksi pemeranan.
4.
Fase empat, menyiapkan pengamat. Pengamat
terlibat aktif seperti kelompok pemeran dan menganalisis pemeranan. Shaftel
menyarankan agar guru terlibat menjadi pengamat dalam role playing dengan
menetapkan tugas untuk siswa, seperti
mengevaluasi jalannya role playing, memberi
komentar terhadap keefektifan dan rangkaian sikap pemeran.
5.
Fase lima, pemeranan. Guru membiarkan pemeran
mengekspresikan ide mereka sesuai dengan tujuan. Apabila tindak lanjut yaitu
diskusi menunjukkan kekurangpahaman siswa terhadap alur cerita yang diperankan,
guru dapat meminta pemeranan ulang. Tujuan sederhana pemeranan adalah untuk
mendirikan kejadian dan peran, yang kemudian peran dapat diselidiki, dianalisis
dan dikerjakan kembali.
6.
Fase enam, diskusi dan evaluasi. Dengan
mengajukan sebuah pertanyaan, siswa akan segera terpancing untuk segera
mengeluarkan pendapatnya. Spontanitas diskusi hanya terjadi karena siswa
mengerti apa yang baru saja diperankan.
7.
Fase tujuh, pemeranan ulang. Apabila terdapat
gagasan mengenai alternatif-alternatif pemeranan, maka pemeranan ulang
dilakukan. Dari uraian pada fase pemeranan, apabila dalam diskusi menunjukkan
kekurangpahaman siswa, maka pemeranan ulang dilakukan.
8.
Fase delapan, diskusi dan evaluasi dilakukan
sebagai tindak lanjut dari role playing tersebut.
Diskusi dan evaluasi dilakukan untuk membahas fokus dari pemeranan ulang.
9.
Fase sembilan mengenai berbagi pengalaman dan
generalisasi. Guru hendaknya membentuk diskusi sehingga siswa setelah mengalami
role playing dapat menggeneralisasi situasi
masalah dan konsekuensinya. Bentuk diskusi yang mencukupi akan sampai pada
kesimpulan yang tepat.
Pendapat lain yaitu menurut Uno (2008: 26) bahwa prosedur role playing terdiri atas sembilan langkah, yaitu:
1. Persiapan
atau pemanasan
Guru
berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka sadari sebagai
suatu hal yang bagi semua orang perlu dipelajari dan dikuasainya. Hal ini bisa muncul dari imajinasi siswa atau sengaja disiapkan oleh guru. Sebagai contoh, guru menyediakan suatu
cerita untuk dibaca di depan kelas. Pembacaan cerita berhenti jika dilema atau
masalah dalam cerita menjadi jelas. Kemudian dilanjutkan dengan pengajuan
pertanyaan oleh guru yang membuat siswa berpikir tentang hal tersebut.
2. Memilih pemain (partisipan)
Siswa dan guru membahas
karakter dari setiap pemain dan menentukan siapa yang akan memainkannya. Dalam
pemilihan pemain, guru dapat memilih siswa yang sesuai untuk memainkannya (jika
siswa pasif atau diduga memiliki keterampilan berbicara yang rendah) atau siswa
sendiri yang mengusulkannya.
3. Menata panggung (ruang kelas)
Guru mendiskusikan
dengan siswa dimana dan bagaimana peran itu akan dimainkan serta apa saja
kebutuhan yang diperlukan.
4. Menyiapkan pengamat (observer)
Guru menunjuk siswa
sebagai pengamat, namun demikian penting untuk dicatat bahwa pengamat di sini
harus juga terlibat aktif dalam permainan peran.
5. Memainkan peran
Permainan peran
dilaksanakan secara spontan. Pada awalnya akan banyak siswa yang masih
bingung memainkan perannya atau bahkan tidak sesuai dengan peran yang
seharusnya ia lakukan,
bahkan mungkin ada yang memainkan peran yang bukan perannya. Jika permainan
peran sudah terlalu jauh keluar jalur, guru dapat menghentikannya untuk segera
masuk ke langkah berikutnya.
6. Diskusi dan evaluasi
Guru bersama dengan siswa
mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang
dilakukan. Usulan perbaikan akan muncul, mungkin ada siswa yang meminta untuk
berganti peran atau bahkan alur ceritanya akan sedikit berubah.
7. Bermain peran ulang
Permainan peran ulang
seharusnya berjalan lebih baik, siswa dapat memainkan perannya lebih sesuai
dengan skenario.
8. Diskusi
dan evaluasi kedua
Pembahasan
diskusi dan evaluasi kedua diarahkan pada realitas, sebab pada saat bermain
peran dilakukan, banyak peran yang melampaui batas kenyataan, sebagai contoh
seorang siswa memainkan peran sebagai pembeli, ia membeli barang dengan harga
yang tidak realistis. Hal ini dapat menjadi bahan diskusi.
9. Berbagi pengalaman dan kesimpulan
Siswa diajak untuk
berbagi pengalaman tentang tema permainan peran yang telah dilakukan dan
dilanjutkan dengan membuat kesimpulan. Misalnya siswa akan berbagi pengalaman
tentang bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Kemudian guru membahas bagaimana sebaiknya siswa
menghadapi situasi tersebut. Seandainya jadi ayah dari siswa
tersebut, sikap seperti apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan cara ini, siswa
akan belajar tentang kehidupan.
D. Masalah-masalah Sosial yang Dapat Dijajaki
dengan Role Playing
Agar penggunaan model pembelajaran role
playing dapat berjalan dengan baik, maka perlu diketahui masalah-masalah sosial
yang dapat dijajaki dengan model ini, diantaranya sebagai berikut:
a) Pertentangan antar pribadi-pribadi (interpersonal conflicts)
(1)
Mengungkap perasaan orang-orang yang bertentangan.
(2)
Menentukan cara-cara pemecahannya.
b) Hubungan antar kelompok (intergroup relations)
(1)
Mengungkap masalah hubungan antar suku, bangsa,
kepercayaan, dan sebagainya.
(2)
Mengungkap
masalah yang sering merupakan konflik yang tidak nyata. Penggunaan bermain
peran dalam hal ini adalah untuk
mengungkap prasangka dan mendorong toleransi.
c) Kemelut pribadi (individual dilemmas)
(1) Kemelut timbul jika seseorang berada
pada dua nilai atau kepentingan yang berbeda.
(2) Jika sulit memecahkan permasalahan
karena penilaian yang bersifat egosentris.
d) Masalah masa lampau dan sekarang (historycal or contemporary problems)
Hal ini meliputi situasi yang kritis di waktu lampau
dan sekarang, dimana para pejabat dan pemimpin politik menghadapi berbagai
permasalahan dan harus mengambil keputusan.
E. Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran
Role Playing
Kelebihan
model pembelajaran role playing, diantaranya
adalah:
1. Dapat berkesan dan
tidak mudah dilupakan dalam ingatan siswa, karena merupakan pengalaman
yang menyenangkan.
2. Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan
penuh antusias.
3. Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan
rasa kebersamaan.
4. Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan dibahas
dalam proses belajar.
5.
Bakat
yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau
tumbuh bibit seni drama dari sekolah.
6.
Bahasa
lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang lebih baik agar mudah dipahami
orang lain.
7.
Menumbuhkan
sikap saling pengertian, tenggang rasa, toleransi dan cinta kasih terhadap sesama karena
siswa berperan seperti orang lain, maka siswa
dapat menempatkan diri seperti watak orang lain, dapat merasakan perasaan orang
lain dan dapat mengakui pendapat orang lain.
8.
Guru dapat mengevaluasi pemahaman
tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
Selain
memiliki kelebihan, model role playing juga memiliki
kekurangan, diantaranya
yaitu:
1. Bermain peran memakan waktu yang banyak.
2. Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik
khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik, sehingga siswa perlu mengenal
dengan baik apa yang akan diperankannya.
3. Bermain peran tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak
mendukung.
4. Jika siswa tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan
melakukan secara sungguh-sungguh.
5. Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui model ini.
6. Bermain
peran tidak selamanya menuju pada arah yang diharapkan seseorang yang
memainkannya, bahkan jika mungkin akan berlawanan dengan apa yang
diharapkannya.
7.
Sering
kelas lain merasa terganggu oleh suara para pemain dan tepuk tangan penonton
atau pengamat.
8.
Untuk berjalan dengan baik sebuah bermain peran, diperlukan
kelompok yang sensitif, imajinatif, terbuka, saling
mengenal sehingga dapat
bekerjasama dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2013. Metode Role Play. http://www.psychologymania.com/2013/02/metode-role-play.html. (diakses pada tanggal 9 September 2014)
Anshari, Muhammad. 2013. Model
pembelajaran Role Playing (Bermain Peran). http://pendidikanuntukindonesiaku.blogspot.com/2013/11/model-pembelajaran-role-playing-bermain.html. (diakses pada tanggal 9 September 2014)
Hidayati, dkk. 2008. Pengembangan Pendidikan IPS SD. Jakarta:
Dit-Jen Dikti Depdiknas
Prasojo, Sigit, dkk. Penggunaan Metode Role Playing dalam
Peningkatan Pembelajaran IPS Siswa Kelas V SD. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=108509&val=4073. (diakses pada tanggal 8 September 2014)
Wahab, Abdul Azis. 2009. Metode dan Model-model mengajar Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS). Bandung: Alfabeta
Wulan, Dewi. 2013. Makalah Model
Role Playing. https://www.academia.edu/5715091/Makalah_model_role_playing. (diakses pada tanggal 9 September 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar