Senin, 06 Oktober 2014

MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING (BERMAIN PERAN)



MODEL PEMBELAJARAN ROLE PLAYING (BERMAIN PERAN)

Disusun oleh:
1.      Shafira Dwintha Aulia                        (1401412028)
2.      Vip Valiant Abdurahman Alim          (1401412374)
3.      Septi Risnawati                                   (1401412498)
4.      Arifati Isnaeni                                     (1401412512)

Rombel: 5A
  
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2014


A.  Pengertian Model Pembelajaran Role Playing
Model pembelajaran pada dasarnya merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan secara khas oleh guru, dengan kata lain, model pembelajaran merupakan bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, model, dan teknik pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pembelajaran IPS adalah model role playing (bermain peran). Role playing adalah salah satu bentuk permainan pendidikan yang dipakai untuk menjelaskan peranan, sikap, tingkah laku, nilai, dengan tujuan menghayati perasaan, sudut pandang dan cara berpikir orang lain (Husein Achmad, 1981: 80).
Bermain peran adalah berakting sesuai dengan peran yang telah ditentukan terlebih dahulu untuk tujuan-tujuan tertentu seperti menghidupkan kembali suasana historis, misalnya mengungkapkan kembali perjuangan para pahlawan kemerdekaan, atau mengungkapkan kemungkinan keadaan yang akan datang, misalnya saja keadaan yang kemungkinan dihadapi karena semakin besarnya jumlah penduduk, atau menggambarkan keadaan imajiner yang dapat terjadi dimana dan kapan saja.
Menurut Hamalik (2004: 214), model role playing (bermain peran) adalah model pembelajaran dengan cara memberikan peran-peran tertentu kepada peserta didik dan mendramatisasikan peran tersebut ke dalam sebuah pentas. Role playing adalah salah satu model pembelajaran interaksi sosial yang menyediakan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan-kegiatan belajar secara aktif dengan personalisasi. Hamalik (2004: 214) lebih lanjut mengemukakan bahwa bentuk pengajaran role playing memberikan pada siswa seperangkat/serangkaian situasi belajar dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada di luar kelas dan memainkan peran orang lain saat menggunakan bahasa tutur (Syamsu, 2000).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa model role playing adalah model bermain peran dengan cara memberikan peran-peran tertentu atau serangkaian situasi belajar kepada siswa dalam bentuk keterlibatan pengalaman sesungguhnya yang dirancang oleh guru dan didramatisasikan peran tersebut ke dalam sebuah pentas.
Dengan model bermain peran, diharapkan siswa dapat menghayati dan berperan dalam berbagai figur khayalan atau figur sesungguhnya dalam berbagai situasi. Model bermain peran yang direncanakan dengan baik dapat menanamkan kemampuan bertanggung jawab dalam bekerja sama dengan orang lain, menghargai pendapat dan kemampuan orang lain serta belajar mengambil keputusan dalam hubungan kerja kelompok. Model ini dapat diterapkan pada pengajaran IPS dengan pokok bahasan tentang hubungan kehidupan sosial, misalnya peranan tokoh-tokoh dalam kehidupan bermasyarakat.
Model pembelajaran ini dapat melibatkan aspek-aspek kognitif, afektif maupun psikomotor para siswa. Aspek kognitif meliputi pemecahan masalah, aspek afektif meliputi sikap, nilai-nilai pribadi/orang lain, membandingkan, mempertentangkan nilai-nilai, dan mengembangkan empati atas dasar tokoh yang mereka perankan, sedangkan aspek psikomotor terlihat ketika siswa memainkan peran di depan kelas.
Titik penekanan model pembelajaran role playing terletak pada keterlibatan emosional dan pengamatan indra ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Siswa diperlakukan sebagai subjek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa (bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri siswa (Departemen Pendidikan Nasional, 2002). Jadi, dalam pembelajaran siswa harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas, maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok memperagakan atau menampilkan skenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan berimprovisasi, namun masih dalam batas-batas skenario dari guru.

B.  Tujuan dan Manfaat Model Pembelajaran Role Playing
Sebagai salah satu bentuk model pembelajaran dalam IPS, bermain peran memiliki beberapa tujuan dan manfaat seperti misalnya yang dikemukakan oleh Fannie R. Shaftel dan George Shaftel (1967) bahwa model bermain peran mempunyai berbagai fungsi, namun dua fungsi utamanya adalah "education for citizen" dan "group counseling" yang dilakukan oleh guru di kelas. Untuk menggunakan model ini secara efektif dalam pengajaran IPS harus disadari dengan baik tujuan digunakannya bermain peran.
Tujuan yang hendak dicapai dari kegiatan bermain peran sesuai dengan jenis belajar yang dilaksanakan yaitu:
1.    Belajar dengan berbuat, tujuannya yaitu untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan yang interaktif atau keterampilan-keterampilan yang reaktif.
2.    Belajar melalui peniruan, tujuannya adalah menyamakan tingkah laku sesuai dengan karakter tokoh yang dimainkannya.
3.    Belajar melalui balikan, mempunyai tujuan untuk mengembangkan prosedur-prosedur kognitif dan prinsip-prinsip yang mendasari perilaku keterampilan yang telah didramatisasikan.
4.    Belajar melalui pengkajian, penilaian, dan pengulangan dengan tujuan untuk memperbaiki keterampilan-keterampilan dengan mengulanginya pada penampilan berikutnya (Hamalik, 2008).
Menurut Dharma (2008) model role playing memiliki beberapa tujuan, diantaranya melatih keterampilan tertentu baik yang bersifat profesional maupun bagi kehidupan sehari-hari, memperoleh pemahaman tentang suatu konsep atau prinsip, melatih memecahkan masalah, meningkatkan keaktifan belajar, memberikan motivasi belajar pada siswa, melatih siswa untuk mengadakan kerjasama dalam situasi kelompok, menumbuhkan daya kreatifitas siswa, dan melatih siswa untuk mengembangkan sikap toleransi.
Berdasarkan beberapa pendapat tentang tujuan model role playing tersebut, dapat disimpulkan bahwa model bermain peran bertujuan untuk (1) mengembangkan keterampilan-keterampilan yang interaktif maupun reaktif, (2) mengembangkan sikap/perasaan bersosialisasi dengan orang lain, (3) memperdalam pemahaman materi pelajaran, dan (4) mengembangkan konsep nilai, berpikir, dan bertindak tepat.

Manfaat yang dapat diambil dari model role playing adalah:
1.    Role playing dapat memberikan semacam hidden practise, dimana siswa tanpa sadar menggunakan ungkapan-ungkapan atau istilah-istilah baku dan normatif terhadap materi yang telah dan sedang mereka pelajari
2.    Role playing melibatkan jumlah siswa yang cukup banyak, cocok untuk kelas besar.
3.    Role playing dapat memberikan kepada siswa kesenangan, karena role playing pada dasarnya adalah permainan. Dengan bermain, siswa akan merasa senang karena bermain adalah dunia siswa.
                                                                                               
C.  Langkah-langkah Model Pembelajaran Role Playing
Menurut Shaftel & Shaftel (Joyce & Weil, 1996: 62 dalam Setiawati, 2008), tahapan-tahapan role playing terdiri dari sembilan fase dan aktivitas sebagai berikut:
1.    Fase satu, memotivasi kelompok. Fase ini mencakup memperkenalkan masalah kepada siswa sehingga mengetahui materi yang akan dipelajari, selanjutnya diungkapakan masalah-masalah secara jelas. Bagian terakhir dari fase ini adalah mengajukan pertanyaan yang akan membuat siswa berpikir dan memprediksikan cerita yang akan ditampilkan. 
2.    Fase dua, memilih pemeran. Guru dan siswa menggambarkan karakter-karakter peran, mengenai seperti apa karakter peran-peran tersebut dan bagaimana peran dibawakan. Hendaknya guru bertanya kepada siswa, apakah siswa itu akan berpartisipasi dalam peran, kemudian siswa tersebut memilih peran yang mana. Apabila guru yang menentukan, hendaknya diperhitungkan kecenderungan kesukaan siswa terhadap peran yang ada. 
3.    Fase tiga, menyiapkan tahap-tahap peran. Para pemain menggambarkan garis besar skenario. Gambaran sederhana setting (pengaturan) dan aksi pemeranan salah satu pemeran. Guru dapat membantu tahap-tahap peran dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sederhana mengenai hal-hal yang berkaitan dengan peran tersebut. Hal itu penting agar siswa merasa aman dalam melaksanakan role playing dan memulai aksi pemeranan. 
4.    Fase empat, menyiapkan pengamat. Pengamat terlibat aktif seperti kelompok pemeran dan menganalisis pemeranan. Shaftel menyarankan agar guru terlibat menjadi pengamat dalam role playing dengan menetapkan tugas untuk siswa, seperti mengevaluasi jalannya role playing, memberi komentar terhadap keefektifan dan rangkaian sikap pemeran.
5.    Fase lima, pemeranan. Guru membiarkan pemeran mengekspresikan ide mereka sesuai dengan tujuan. Apabila tindak lanjut yaitu diskusi menunjukkan kekurangpahaman siswa terhadap alur cerita yang diperankan, guru dapat meminta pemeranan ulang. Tujuan sederhana pemeranan adalah untuk mendirikan kejadian dan peran, yang kemudian peran dapat diselidiki, dianalisis dan dikerjakan kembali. 
6.    Fase enam, diskusi dan evaluasi. Dengan mengajukan sebuah pertanyaan, siswa akan segera terpancing untuk segera mengeluarkan pendapatnya. Spontanitas diskusi hanya terjadi karena siswa mengerti apa yang baru saja diperankan. 
7.    Fase tujuh, pemeranan ulang. Apabila terdapat gagasan mengenai alternatif-alternatif pemeranan, maka pemeranan ulang dilakukan. Dari uraian pada fase pemeranan, apabila dalam diskusi menunjukkan kekurangpahaman siswa, maka pemeranan ulang dilakukan. 
8.    Fase delapan, diskusi dan evaluasi dilakukan sebagai tindak lanjut dari role playing tersebut. Diskusi dan evaluasi dilakukan untuk membahas fokus dari pemeranan ulang. 
9.    Fase sembilan mengenai berbagi pengalaman dan generalisasi. Guru hendaknya membentuk diskusi sehingga siswa setelah mengalami role playing dapat menggeneralisasi situasi masalah dan konsekuensinya. Bentuk diskusi yang mencukupi akan sampai pada kesimpulan yang tepat.

Pendapat lain yaitu menurut
Uno (2008: 26) bahwa prosedur role playing terdiri atas sembilan langkah, yaitu:
1.    Persiapan atau pemanasan
Guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu dipelajari dan dikuasainya. Hal ini bisa muncul dari imajinasi siswa atau sengaja disiapkan oleh guru. Sebagai contoh, guru menyediakan suatu cerita untuk dibaca di depan kelas. Pembacaan cerita berhenti jika dilema atau masalah dalam cerita menjadi jelas. Kemudian dilanjutkan dengan pengajuan pertanyaan oleh guru yang membuat siswa berpikir tentang hal tersebut.
2.    Memilih pemain (partisipan)
Siswa dan guru membahas karakter dari setiap pemain dan menentukan siapa yang akan memainkannya. Dalam pemilihan pemain, guru dapat memilih siswa yang sesuai untuk memainkannya (jika siswa pasif atau diduga memiliki keterampilan berbicara yang rendah) atau siswa sendiri yang mengusulkannya.
3.    Menata panggung (ruang kelas)
Guru mendiskusikan dengan siswa dimana dan bagaimana peran itu akan dimainkan serta apa saja kebutuhan yang diperlukan.
4.    Menyiapkan pengamat (observer)
Guru menunjuk siswa sebagai pengamat, namun demikian penting untuk dicatat bahwa pengamat di sini harus juga terlibat aktif dalam permainan peran.
5.    Memainkan peran
Permainan peran dilaksanakan secara spontan. Pada awalnya akan  banyak siswa yang masih bingung memainkan perannya atau bahkan tidak sesuai dengan peran yang seharusnya ia lakukan, bahkan mungkin ada yang memainkan peran yang bukan perannya. Jika permainan peran sudah terlalu jauh keluar jalur, guru dapat menghentikannya untuk segera masuk ke langkah berikutnya.
6.    Diskusi dan evaluasi
Guru bersama dengan siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan muncul, mungkin ada siswa yang meminta untuk berganti peran atau bahkan alur ceritanya akan sedikit berubah.


7.    Bermain peran ulang
Permainan peran ulang seharusnya berjalan lebih baik, siswa dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan skenario.
8.    Diskusi dan evaluasi kedua
Pembahasan diskusi dan evaluasi kedua diarahkan pada realitas, sebab pada saat bermain peran dilakukan, banyak peran yang melampaui batas kenyataan, sebagai contoh seorang siswa memainkan peran sebagai pembeli, ia membeli barang dengan harga yang tidak realistis. Hal ini dapat menjadi bahan diskusi.
9.    Berbagi pengalaman dan kesimpulan
Siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema permainan peran yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan. Misalnya siswa akan berbagi pengalaman tentang bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Kemudian guru membahas bagaimana sebaiknya siswa menghadapi situasi tersebut. Seandainya jadi ayah dari siswa tersebut, sikap seperti apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan cara ini, siswa akan belajar tentang kehidupan.

D.  Masalah-masalah Sosial yang Dapat Dijajaki dengan Role Playing
Agar penggunaan model pembelajaran role playing dapat berjalan dengan baik, maka perlu diketahui masalah-masalah sosial yang dapat dijajaki dengan model ini, diantaranya sebagai berikut:
a)    Pertentangan antar pribadi-pribadi (interpersonal conflicts)
(1)  Mengungkap perasaan orang-orang yang bertentangan.
(2)  Menentukan cara-cara pemecahannya.
b)   Hubungan antar kelompok (intergroup relations)
(1)  Mengungkap masalah hubungan antar suku, bangsa, kepercayaan, dan sebagainya.
(2)  Mengungkap masalah yang sering merupakan konflik yang tidak nyata. Penggunaan bermain peran  dalam hal ini adalah untuk mengungkap prasangka dan mendorong toleransi.

c)    Kemelut pribadi (individual dilemmas)
(1)  Kemelut timbul jika seseorang berada pada dua nilai atau kepentingan yang berbeda.
(2)  Jika sulit memecahkan permasalahan karena penilaian yang bersifat egosentris.
d)   Masalah masa lampau dan sekarang (historycal or contemporary problems)
Hal ini meliputi situasi yang kritis di waktu lampau dan sekarang, dimana para pejabat dan pemimpin politik menghadapi berbagai permasalahan dan harus mengambil keputusan.

E.  Kelebihan dan Kekurangan Model Pembelajaran Role Playing
     Kelebihan model pembelajaran role playing, diantaranya adalah:
1.    Dapat berkesan dan tidak mudah dilupakan dalam ingatan siswa, karena merupakan pengalaman yang menyenangkan.
2.    Sangat menarik bagi siswa, sehingga memungkinkan kelas menjadi dinamis dan penuh antusias.
3.    Membangkitkan gairah dan semangat optimisme dalam diri siswa serta menumbuhkan rasa kebersamaan.
4.    Siswa dapat terjun langsung untuk memerankan sesuatu yang akan dibahas dalam proses belajar.
5.    Bakat yang terdapat pada siswa dapat dipupuk sehingga dimungkinkan akan muncul atau tumbuh bibit seni drama dari sekolah.
6.    Bahasa lisan siswa dapat dibina menjadi bahasa yang lebih baik agar mudah dipahami orang lain.
7.    Menumbuhkan sikap saling pengertian, tenggang rasa, toleransi dan cinta kasih terhadap sesama karena siswa berperan seperti orang lain, maka siswa dapat menempatkan diri seperti watak orang lain, dapat merasakan perasaan orang lain dan dapat mengakui pendapat orang lain.
8.    Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.


Selain memiliki kelebihan, model role playing juga memiliki kekurangan, diantaranya yaitu:
1.    Bermain peran memakan waktu yang banyak.
2.    Siswa sering mengalami kesulitan untuk memerankan peran secara baik khususnya jika mereka tidak diarahkan atau tidak ditugasi dengan baik, sehingga siswa perlu mengenal dengan baik apa yang akan diperankannya.
3.    Bermain peran tidak akan berjalan dengan baik jika suasana kelas tidak mendukung.
4.    Jika siswa tidak dipersiapkan dengan baik ada kemungkinan tidak akan melakukan secara sungguh-sungguh.
5.    Tidak semua materi pelajaran dapat disajikan melalui model ini.
6.    Bermain peran tidak selamanya menuju pada arah yang diharapkan seseorang yang memainkannya, bahkan jika mungkin akan berlawanan dengan apa yang diharapkannya.
7.    Sering kelas lain merasa terganggu oleh suara para pemain dan tepuk tangan penonton atau pengamat.
8.    Untuk berjalan dengan baik sebuah bermain peran, diperlukan kelompok yang sensitif, imajinatif, terbuka, saling mengenal sehingga dapat bekerjasama dengan baik.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2013. Metode Role Play. http://www.psychologymania.com/2013/02/metode-role-play.html. (diakses pada tanggal 9 September 2014)

Anshari, Muhammad. 2013. Model pembelajaran Role Playing (Bermain Peran). http://pendidikanuntukindonesiaku.blogspot.com/2013/11/model-pembelajaran-role-playing-bermain.html. (diakses pada tanggal 9 September 2014)

Hidayati, dkk. 2008. Pengembangan Pendidikan IPS SD. Jakarta: Dit-Jen Dikti Depdiknas

Prasojo, Sigit, dkk. Penggunaan Metode Role Playing dalam Peningkatan Pembelajaran IPS Siswa Kelas V SD. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=108509&val=4073. (diakses pada tanggal 8 September 2014)

Wahab, Abdul Azis. 2009. Metode dan Model-model mengajar Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Bandung: Alfabeta

Wulan, Dewi. 2013. Makalah Model Role Playing. https://www.academia.edu/5715091/Makalah_model_role_playing. (diakses pada tanggal 9 September 2014)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar